Senin, 11 April 2016

MANAJEMEN PIUTANG DAN PERSEDIAAN

             MANAJEMEN KEUANGAN II
MANAJEMEN PIUTANG DAN PERSEDIAAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah manajemen Keuangan II di semester empat
Prodi S1 Manajamen
         Di susun oleh :
1.      AnggraeniPuspita Sari.           (5130014014)
2.      Ainul Firda                              (5130014017)
3.      Fitri Alfiah Dewi                    (5130014028)
4.      Nur Aini                                  (5230014001)
5.      Ade Suriani Dianini                (5230014010)

Dosen Pembimbing :
Ninnasi Muttaqiin, S.M.B., M.SM. 

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
TAHUN 2016

BAB I
PEMBAHASAN
1.1 Kredit Dan Piutang
Ketika perusahaan menjual barang atau jasa, perusahaan dapat melakukannya secara tunai atau kredit. Jika penjualan dilakukan secara tunai maka pada saat dilakukan penjualan perusahaan juga menerima kas, sebaliknya jika penjualan dilakukan secara kredit, maka perusahaan baru menerima kas beberapa waktu kemudian setelah dilakukan penjualan, sesuai dengan jangka waktu kredit yang disepakati. Dengan demikian penjualan secara kredit akan menimbulkan adanya piutang. Piutang yang dimaksud dalam hal ini adalah piutang dagang.
Ada beberapa alasan perusahaan melakukan penjualan secara kredit, yaitu untuk meningkatkan penjualan, perusahaan memiliki kapasitas produksi yang menganggur, dan alasan persaingan. Penjualan secara kredit menimbulkan biaya dan manfaat bagi perusahaan. Biaya yang timbul akibat penjualan kredit ada yang bersifat langsung seperti biaya penagihan piutang dan biaya tidak langsung berupa oppurtunity cost dari dana yang terkait dalam piutang, serta adanya kerugian akibat adanya piutang yang tidak tertagih. Sementara itu manfaat yang diperoleh perusahaan dari penjualan secara kredit adalah berupa peningkatan volume penjualan yang akan mengakibatkan peningkatan laba.
1.      Komponen Kebijakan Kredit
      Jika perusahaan memutuskan untuk memberikan kredit kepada pelangganya, perusahaan harus menentukan prosedur untuk memperoleh kredit dan pelunasannya yang dituangkan dalam kebijakan kredit, yang meliputi hal berikut :
a        Syarat penjualan
Syarat penjualan menentukan bagaiman perusahaan menjual barang atau jasanya. Apakah dilakukan secara tunai atau kredit. Jika dilakukan secara kredit, syarat penjualan harus menentukan secara spesifik jangka waktu kredit, potongan tunai dan periode potongan, serta jenis kredit.
b        Analisis kredit
Dalam pemberian kredit, perusahaan menentukan berapa banyak upaya yang dilakukan untuk dapat membedakan antara pelanggan yang akan membayar dan pelanggan yang tidak membayar. Aspek yang dianalisis biasanya berdasarkan pada five C’s of credit yaitu character, capacity, capital, colleteral, dan condition.
c         Kebijakan penagihan piutang
Setelah kredit diberikan, perusahaan mempunyai masalah yang potensial dalam pengumpulan kas. Untuk itu, perusahaan harus menentukan kebijakan penagihan piutang.
2.      Investasi dalam Piutang
      Investasi dalam piutang bagi suatu perusahaan tergantung pada jumlah penjualan kredit dan rata-rata periode pengumpulan piutang (average collection period atau APC). Sebagai contoh, jika ACP perusahaan adalah 30 hari, dan penjualan secara kredit Rp. 1.000.000 per hari, maka piutang perusahaan adalah : 30 x Rp. 1.000.000 = Rp. 30.000.000 secara rata-rata.
Account receivable = average daily sales x ACP
      Dengan demikian investasi perusahaan dalam piutang tergantung pada faktor-faktor yang memengaruhi penjualan secara kredit dan jangka waktu pengumpulan piutang.
1.2 Syarat Penjualan Secara Kredit
      Syarat penjualan mencakup tiga unsur yang berbeda yaitu : jangka waktu kredit, potongan tunai dan periode potongan, serta jenis kredit. Dalam satu industri, syarat penualan biasanya standar, tetapi syarat penjualan dapat sangat berbeda antar industri yang berbeda.
      Sebagai contoh, syarat penjualan adalah 2/10 net 60. Hal ini berarti pelanggan mempunyai jangka waktu 60 hari sejak tanggal transaksi dilakukan untuk melunasi semua utangnya, akan tetapi jika pembayaran dilakukan dalam waktu 10 hari, pelanggan mendapat potongan tunai sebesar 2%. Apabila pelanggan membeli barang senilai Rp. 1.000.000 dan syarat penjualan 2/10, net 60, pelanggan mempunyai pilihan untuk membayar dalam 10 hari sebesar Rp. 1.000.000 x (1-0,02) = Rp. 980.000 atau membayar Rp. 1.000.000 dalam waktu 60 hari.

1.      Jangka waktu Kredit
      Jangka waktu kredit adalah waktu saat penjualan dilakukan sampai dengan pelanggan harus melunasi semua utangnya. Jangka waktu kredit sangat bervariasi antar industri, tetapi biasanya antara 30 hari sampai 120 hari. Tanggal nota (invoice) merupakan awal periode kredit, yang biasanya merupakan tanggal saat barang dikirim, bukan tanggal saat barang diterima oleh pembeli.
      Faktor-faktor yang memengaruhi jangka waktu kredit yaitu :
  1. Jenis barang yang dihasilkan atau dijual. Untuk barang-barang yang tidak tahan lama atau harus sampai dikonsumen dalam keadaan segar seperti makanan, jangka waktu kreditnya biasanya lebih pendek dibandingkan bahan yang tahan lama. 
  2. Permintaan konsumen. Barang-barang yang sudah dikenal baik oleh konsumen biasanya perputarannya cepat dan jangka waktu kreditnya lebih pendek dibandingkan dengan barang baru yang perputarannya lambat, sehingga jangka waktu kreditnya lebih lama. 
  3. Biaya, profitabilitas dan standardisasi. Semakin murah barang semakin pendek jangka waktu kredit. Demikian juga apabila semakin rendah profitabilitas dan semakin terstandardisasi suatu barang, semakin pendek jangka waktu kreditnya. 
  4. Risiko kredit. Semakin besar risiko kredit dari pembeli, semakin pendek jangka waktu kredit. 
  5. Besarnya transaksi. Semakin kecil jumlah transaksi, semakin pendek jangka waktu kreditnya, dan sebaliknya. 
  6. Persaingan. Semakin ketat persaingan pasar yang dihadapi penjual, jangka waktu kreditnya semakin panjang, dan sebaliknya.
  7. Jenis pelanggan. Penjual dapat menawarkan jangka waktu kredit yang berbeda untuk pembeli yang berbeda
2.      Potongan Tunai
      Potongan tunai merupakan bagian dari syarat penjualan yang diberikan kepada pelanggan yang membayar dalam periode potongan. Hal ini untuk mendorong pelanggan membayar lebih cepat dari jangka waktu kredit. Potongan tunai akan berdampak pada berkurangnya jumlah piutang di satu sisi dan perusahaan harus membandingkannya dengan besarnya biaya potongan disisi yang lain.
      Contoh dengan syarat penjualan 2/10 net 30, apakah potongan 2% tersebut menarik bagi pembeli sehingga membayar lebih cepat? Anggap pembeli membeli barang senilai Rp. 1.000.000. Pembeli dapat membayar Rp. 980.000 dengan jangka waktu 10 hari atau menunggu 20 hari dan membayar Rp. 1.000.000. Hal ini jelas berarti pembeli meminjam Rp. 980.000 selama 20 hari dan membayar bunga Rp. 20.000. Dengan bunga Rp. 20.000 atas pinjaman Rp. 980.000, berarti bunga pinjaman tersebut adalah 20.000/980.000 = 2,0408% tampaknya cukup rendah, tetapi harus diingat bahwa bunga tersebut untuk jangka waktu 20 hari. Ada 365/20 = 18,25 periode dalam satu tahun. Jika pembeli tidak mengambil kesempatan untuk memeroleh potongan tunai, berarti pembeli membayar suku bunga efektif tahunan (effective annual rate atau EAR) sebesar :
      EAR = (1 + 0,020408) 18,25 – 1 = 44,6%
Dari sudut pandang pembeli hal ini merupakan sumber dana yang sangat mahal.

3.      Potongan Tunai dan Average Collection Period (ACP)
      Pemberian potongan tunai akan mendorong pelanggan membayar lebih cepat, hal ini akan memperpendek jangka waktu piutang, dan jika faktor lainnya tetap, akan mengurangi investasi dalam piutang.
      Sebagai contoh, saat ini perusahaan mempunyai syarat penjualan net 30 dan ACP selama 30 hari. Jika perusahaan menawarkan syarat penjualan 2/10, net 30, dan sebanyak 50% pelanggan (atas volume pembelian) memanfaatkan kesempatan memperoleh potongan dan membayar dalam waktu 10 hari, sedangkan sisanya membayar dalam waktu 30 hari. Berapa ACP setelah perubahan kebijakan kredit tersebut? Jika penjualan perusahaan sebanyak Rp 15 juta setiap tahun (sebelum potongan), apa yang terjadi dengan piutang.
      Jika dianggap 50% pelanggan membayar dalam waktu 10 hari, dan sisanya membayar dalam waktu 30 hari, maka ACP yang baru adalah :
      ACP baru = 0,50 x 10 hari + 0,50 x 30 hari = 20 hari
Dengan demikian ACP mengalami penurunan dari 30 hari menjadi 20 hari. Rata-rata penjualan per hari adalah Rp 15 juta/365 = Rp 41.096 dan piutang akan berkurang sebesar Rp 41.096 x 10 = Rp 410.960.

4.      Jenis Kredit
      Kebanyakan kredit dagang yang ditawarkan merupakan open account. Hal ini berarti bukti formal kredit adalah berupa invoice yang dikirim bersamaan dengan pengiriman barang dan ditandatangani oleh pembeli sebagai bukti barang telah diterima. Setelah itu penjual dan pembeli mencatat di masing-masing rekeningnya.

1.3 Analisis Kebijakan Kredit
    Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pemberian kredit. Keputusan pemberian kredit layak dilakukan jika NPV-nya positif.
1. Efek Kebijakan Kredit
Dalam mengevaluasi kebijakan kredit, ada lima faktor yang harus dipertimbangkan yaitu :
  1.      Dampak terhadap penjualan (revenue effects). Jika perusahaan memberikan kredit, akan terjadi penundaan penerimaan kas karena pelanggan memperoleh keuntungan dari penawaran kredit. Namun demikian perusahaan dapat membebankan harga yang lebih tinggi jika perusahaan memberikan kredit dan pemberian kredit juga dapat meningkatkan jumlah barang yang dijual. Sehingga, pemberian kredit diharapkan dapat meningkatkan penjualan. 
  2.       Dampak terhadap biaya (cost effect). Selain mengalami penundaan penerimaan atas penjualan kredit, perusahaan juga segera menanggung biaya atas penjualan . perusahaan menjual secara tunai atau kredit, perusahaan harus tetap membeli atau memproduksi barang yang dijual. 
  3.    Biaya atas utang. Ketika perusahaan memberikan kredit, perusahaan harus merencanakan pembelanjaan atas piutang yang dihasilkan. Sebagai konsekuensinya, biaya pinjaman jangka pendek perusahaan menjadi faktor yang penting dipertimbangkan dalam pemberian kredit. 
  4.        Kemungkinan tidak membayar. Jika perusahaan menjual secara kredit, ada kemungkinan sebagian dari pembeli tidak membayar. Hal ini tidak akan terjadi jika perusahaan menjual secara tunai. 
  5.      Potongan tunai. Ketika perusahaan menawarkan potongan tunai sebagai bagian dari syarat kredit, sejumlah pelanggan akan memilih untuk membayar lebih awal untuk memperoleh potongan. 
2.      Mengevaluasi Usulan Kebijakan Kredit
Contoh perusahaan Lokus, yang mengevaluasi permintaan dari sejumlah pelanggan untuk mengubah kebijakan kredit sekarang, menjadi net 30 hari. Untuk menganalisis perlu dijelaskan notasi yang digunakan sebagai berikut :
Keterangan :
P  : Harga per unit
v   : Biaya variabel per unit
Q  : Jumlah unit produk yang dijual per bulan sekarang
Q’ : Jumlah unit produk yang dijual pada kebijakan baru
R  : Tingkat keuntungan yang disyaratkan per bulan







Untuk menjelaskan perhitungan NPV akibat perubahan kebijakan kredit perusahaan CITRA berikut ini adalah informasi terkait dengan perusahaan CITRA :
P  : Rp 50
v  : Rp 20
Q  : 100
Q’ : 110

Jika tingkat keuntungan yang disyaratkan 2% per bulan, apakah perubahan kebijakan kredit perusahaan CITRA menguntungkan? Perusahaan saat ini bekerja di bawah kapasitas normal, sehingga peningkatan produksi dan penjualan tidak berdampak pada biaya tetap.
Penjualan perusahaan CITRA sekarang setiap bulan = P x Q = Rp. 5.000 dan biaya variabel setiap bulan adalah = v x Q = Rp 2.000
      Arus kas dari kebijakan lama : (P – v) Q’
                                                      : (Rp 50 – Rp 20) x 100 = Rp 3.000
Jika perusahaan CITRA mengubah kebijakan kreditnya, menjadi net 30 hari, maka kuantitas barang yang dijual meningkat menjadi Q’ = 110. Penjualan tiap bulan menjadi P x Q’ dan biaya variabel menjadi v x Q’. Arus kas kebijakan baru akan menjadi :
Arus kas dari kebijakan lama = (P - v) Q’
                                               = (Rp 50 – Rp 20) x 110 = Rp 3.300
Icremental arus kas = (P - v) (Q-Q’)
                                = (Rp 50 – Rp 20) (110 – 100) = Rp 300
Nilai sekarang dari arus kas incremental adalah :
PV : {(P - v) (Q’ – Q)}/R
       : {(Rp 50 – Rp 20) (110 – 100)}/0,02
      : Rp 300/0,02 = Rp 15.000

3.      Biaya Perubahan Kebijakan Kredit
Ada dua komponen yang harus dipertimbangkan dalam menghitung biaya dari perubahan kebijakan kredit : pertama, karena penjualan meningkat dari Q menjadi Q’ perusahaan harus memproduksi lebih banyak yaitu Q’ – Q , dan biaya v(Q’ – Q) = Rp 20 (110 - 100) = Rp 200. Kedua, penjualan yang dapat dikumpulkan menjadi kas pada bulan ini berdasarkan kebijakan sekarang = Px Q = Rp 50 x 100 = Rp 5.000 tidak aan bisa dikumpulkan sampai dengan 30 hari kemudian berdasarkan kebijakan baru.
Biaya perubahan kebijakan = P x Q + v(Q’ – Q)

4.      Informasi Kredit
Jika perusahaan membutuhkan informasi kredit atas pelanggan, ada sejumlah sumber informasi yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan, di antaranya :
  1.        Laporan keuangan. Perusahaan dapat meminta perusahaan pelanggan dapat menyediakan      laporan keuangannya seperti : neraca, laporan laba rugi dan sebagainya. 
  2.      Laporan kredit yang berkaitan dengan masa lalu pelanggan dalam pembayaran kredit dengan perusahaan lain. Berkaitan dengan informasi ini, memang hanya sedikit perusahaan yang menjual informasi historis kredit perusahaan, contohnya adalah Dun & Bradstreet. 
  3.       Bank. Bank biasanya memberikan bantuan kepada perusahaan yang menjadi nasabahnya dalam menyediakan informasi tentang kredit perusahaan lainnya.
  4.          Catatan pembayaran perusahaan pelanggan di masa lalu.
Tidak ada rumus yang pasti untuk menilai kemungkinan pelanggan tidak membayar, namun demikian ada lima faktor klasik yang dikenal dengan  5C’s of credit untuk mengetahui kelayakan pelanggan yang diberikan kredit yaitu :
  1.       Character, berkaitang dengan niat pelanggan untuk memenuhi kewajiban. 
  2.      Capacity, berkaitan dengan kemampuan pelanggan untuk memenuhi kewajibannya sehubungan dengan kredit yang diterima.
  3.       Capital, berkaitan dengan kemampuan pelanggan untuk menyediakan modal sendiri.
  4.    Collateral, berkaitan dengan jaminan yang disediakan pelanggan jika gagal memenuhi kewajibannya. 
  5.       Condition , kondisi ekonomi secara umum yang memengaruhi bisnis pelanggan.
1.4 Kebijakan Pengumpulan Piutang
Kebijakan piutang ini merupakan komponen terakih dari kebijakan kredit. Hal ini mencakup pemantauan piutang dan oleh penyebaran atas piutang yang telah jatuh tempo .
1.   Pemantauan Piutang
Agar pelanggan selalu membayar kewajibannya tepat waktu, kebanyakan perusahaan akan memantau piutang telah jatuh tempoh. Pertama, perusahaan perlu memperhatikan ACP dari waktu ke waktu. Jika terjadi peningkatan, ACP perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari perusahaan. Kedua, perusahaan dapat menyusun agin schedule, sebagai salah satu alat untuk memantau piutang. Dalam hal ini piutang dapat diklasifikasikan dalam hal umur.
      Tabel. Aging Schedule
Umur
Piutang
Presentase Terhadap Total Piutang
0 – 10 Hari
Rp.   50.000.000.
50%
11 – 60 Hari
Rp.   25.000.000.
25%
61 – 80 Hari
Rp.   20.000.000.
20%
Lebih Dari 60 Hari
Rp.     5.000.000.
5%
Total
Rp. 100.000.000.
100%

2.      Upaya Pengumpulan Piutang
Dalam upaya pengumpulan piutang, perusahaan biasanya menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
1.      Mengirim surat pemberitahuan kepada pelanggan tentang telah jatuh temponya piutang.
2.      Perusahaan menghubungi pelanggan melalui telepon.
3.      Menugaskan kepada tenaga penagih untuk melakukan penagih piutang.
4.      Melakukan upaya hukum untuk melakukan penagihan.

1.5 Manajemen Persediaan
Manajemen persediaan menentukan jumlah persediaan yang optimal dengan biaya total yang minimal. Persediaan atauinventory meliputi bahan mentah atau bahan baku, bahan pembantu, bahan dalam proses atau work in process, suku cadang, dan barang jadi atau finished good. Alasan perlunya manajemen persediaan adalah karena timbulnya ketidak pastian permintaan, ketidak pastian pasokan supplier, dan ketidakpastian waktu pemesanan.
  1. Jenis Dan Pentingnya Persediaan
     Jenis persediaan yang dimiliki oleh suatu perusahaan sangat tergantung pada bidang usaha dari masing-masing perusahaan. Pada perusahaan manufaktur jenis persediaan yang dimiliki dapat dikelompokkan menjadi persediaan bahan baku, barang dalam proses, barang jadi, dan suku cadang sedangkan perusahaan dagang persediaannya berupa berbagai macam barang dagang.
Persediaan memungkinkan pihak manajemen perusahaan untuk mengatur kegiatan pengadaan, produksi, dan penjualan agar lebih fleksibel, memperkecil kemungkinan perusahaan gagal memenuhi permintaan pelanggan, atau terhentinya proses produksi karena tidak ada persediaan bahan baku. Dengan mengadakan persediaan perusahaan dapat memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh potongan kuantitas dari pemasok. Pengadaan persediaan juga dimaksudkan menghindari terjadinya fluktuasi harga yang meningkat, serta sebagai persediaan pengamanan untuk menghadapi kondisi yang tidak pasti.
Adanya persediaan juga mempunyai dampak yang kurang baik bagi perusahaan, yaitu perusahaan harus menginvestasikan sejumlah dana dalam persediaan, yang mana persediaan merupakan salah satu unsur aktiva lancar yang likuiditasnya paling rendah. Selain itu ada kemungkinan persediaan mengalami kerusakan sehingga nilainya menjadi turun.
Manajemen persediaan penting untuk mengukur kelancaran produksi dan penjualan. Pengawasan atas persediaan pada umumnya tidak secara langsung berada di bawah manajer keuangan tetapi berada di bawah pengawasan manajer produksi atau manajer pemasaran. Namun demikian, manajer keuangan masih mempunyai kepentingan terhadap besar kecilnya tingkat persediaan karena manajer keuangan mempunyai tanggung jawab untuk mengendalikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan secara keseluruhan. Di samping itu, manajemen persediaan mempunyai pengaruh terhadap siklus perputaran kas.
2        Biaya Persediaan
             Tujuan manajemen persediaan adalah untuk menyediakan persediaan adalah untuk menyediakan persediaan yang diperlukan guna menjamin kelangsungan operasi perusahaan pada tingkat biaya yang minimal. Untuk itu langkah pertama yang perlu dilakukan oleh manajemen adalah mengidentifikasi semua biaya yang berkaitan dengan pembelian dan penyimpanan persediaan. Biaya yang berkaitan dengan persediaan dikelompokkan menjadi :
  1.      Biaya penyimpanan (carrying costs) yang terdiri atas biaya modal atas dana yang terkait pada persediaan , biaya penyimpanan dan penanganan persediaan, biaya asuransi, pajak atas persediaan, penyusutan.  Pada umumnya biaya ini berubah sejalan dengan perubahan jumlah persediaan rata-rata yang disimpan. Biaya penyimpanan biasanya dinyatakan dalam persentase tertentu dari nilai persediaan. Total biaya penyimpanan persediaan dalam satu tahun merupakan presentase biaya penyimpanan persediaan dikali rata-rata jumlah persediaan. Dengan demikian semakin banyak jumlah persediaan, semakin besar biaya penyimpanan dan sebaliknya. Total biaya penyimpanan persediaan = C x P x Q/2
  2.     Biaya pemesanan (ordering cost), yang terdiri atas : biaya pengiriman order, biaya pengiriman barang, dan penanganannya. Biaya pemesanan jumlahnya tetap pada setiap kali pemesanan dilakukan. Dengan kata lain total biaya pemesanan persediaan dalam satu tahun adalah sama dengan biaya pemesanan setiap pesan dikali frekuensi pemesanan dalam setu tahun. Dengan demikian semakin besar jumlah persediaan yang di pesan setiap kali pemesanan,  frekuensi pemesanan yang harus dilakukan semakin berkurang, sehingga biaya pemesanan akan semakin kecil dan sebaliknay, jika semakin kecil jumlah persediaan yang dipesan setiap kali pemesanan, frekuensi pemesanan yang harus dilakukan semakin bertambah, sehingga biaya pemesanan semakin besar. Total biaya pemesanan dalam satu tahun = F x S/Q 
  3.      Biaya kehabisan persediaan (cost of running short), yang terdiri dari kerugian penjua, kehilangan goodwill pelanggan, biaya akibat kemacetan jadwal produksi. Semakin kecil jumlah persediaan semakin besar biaya kehabisan persediaan, dan sebaliknya dengan asumsi faktor lainnya tetap.

1.6 Model Economic Order Quantity (EOQ) Dalam Manajemen Presediaan
            Persediaan penting bagi perusahaan, tetapi harus dihindari bahwa profitabilitas perusahaan dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah persediaan yang dimiliki oleh perusahaan. Masalahnya adalah bagaimana menentukan jumlah persediaan yang optimal. Salah satu pendekatan yang biasanya digunakan adalah model EOQ (economic order quantity).
            EOQ adalah jumlah persediaan yang harus dipesan dengan biaya yang minimal. Dalam model EOQ biaya persediaan yang dipertimbangkan adalah biaya penyimpanan persediaan dan biaya penyimpanan persediaan. Bagaimana hubungan antara biaya penyimpanan dan biaya pemesanan persediaan dengan jumlah persediaan yang dipesan.
            Berdasarkan gambar di atas, pada saat jumlah pesanan sebesar EOQ, biaya penyimpanan persediaan sama dengan biaya pemesanan persediaan. Total biaya persediaan sama dengan total biaya penyimpanan persediaan ditambah total biaya pemesanan persediaan.
            Total biaya persediaan (TC) = CP (Q/2) + F (S/Q) atau
                                                  TC   = C x P(Q/2) + FSQ-1
            Jika persamaan tersebut didiferensialterhadap Q dan hasilnya sama dengan nol, maka akan diperoleh Q yang optimal, yaitu jumlah pesanan dengan total biaya yang minimal atau dikenal dengan  economic order quantity (EOQ).
            dT/dQ              = CP/2 – FS/Q2 = 0 
                            CP/2 = FS/Q2
                           Q2CP = 2FS
                                Q2 = 2FS/CP
      Keterangan :
    EOQ = Jumlah pesanan yang ekonomis
    F       = Biaya pemesanan setiap kali pesan
    S       = Jumlah kebutuhan persediaan dalam unit tiap tahun
    C      = Biaya penyimpanan per tahun yang dinyatakan dalam persentase dari harga beli                               persediaan
    P       = Harga beli per unit persediaan

1.      Reoder Point (Titik Pemesanan Kembali)
Pada tingkat persediaan berapa pemesanan yang harus dilakukan agar barang datang tepat pada waktunya disebut dengan reorder point (ROP). Reorder point dapat ditentukan dengan cara sebagai berikut :
      ROP = Lt x Q
Keterangan  :
ROP = reorder point
Lt     = lead time (hari, minggu, atau bulan)
Q      = pemakain rata-rata (per hari, per minggu, atau per bulan)
  
Model EOQ dapat dioperasionalkan dengan asumsi sebagai berikut :
  1.       jumlah penjualan ataukebutuhan persediaan dalam satu periode dapat diketahui dengan pasti 
  2.      biaya penyimpanan per unit per periode tetap 
  3.      biaya pemesanan untuk setiap kali pesan tetap 
  4.      harga per satuan barang tetap berapun jumlah yang dipesan 
  5.      barang yang dipesan datang pada saat yang sama sekaligus 
  6.      barang yang dibutuhkan harus selalu tersedia dipasar
Sebagai contoh,  perusahaan Nasional membutuhkan persediaan sebanyak 3.600 unit setiap tahun, bahan baku tersebut diperoleh secara impor dengan harga USD 40 per unit. Biaya penyimpanan sebesar 25% per tahun dari harga beli persediaan. Biaya pemesanan variabel sebesar USD 125 per pesanan.
Berdasarkan informasi tersebut, besarnya jumlah pesanan ekonomis adalah
                              
                   



Frekuensi pemasanan dalam satu tahun = S/EOQ atau 3.600/300 = 12 kali. Jika suatu tahun 360 hari, maka pemesanan dilakukan setaip 30 hari (360/12).
      Total biaya persediaan pada jumlah pemesan yang ekonomi (EOQ) adalah :
             TC = (0,25)(USD40)(300/2) + (USD125)(3.600/3000)
                   = USD1.500 + USD1.500
                   = USD3.000

      Jika perusahaan membutuhkan waktu delapan hari untuk melakukan pemesanan sampai persediaan yang dipesan diterima diperusahaan, dan agar perusahaan tidak kehabisan persediaan, maka perusahaan sudah harus melakukan pemesanan kembali ketika jumlah persediaan mencapai 80 unit, dengan kata lain reorder point = pemakaian persediaan per hari x lead time
ROP = Q X Lt
               = 300/30 x 8
               = 80 unit
2.      EOQ dan Reorder point
      Contoh, dalam kondisi yang bersifat pasti, ketika pesanan datang, jumlah persediaan di perusahaan adalah sama dengan jumlah pesanan yang ekonomis (EOQ), yaitu sebanyak 300. Unit. Persediaan tersebut digunakan setiap hari sehingga jumlahnya akan semakin berkurang, dan ketika persediaan mencapai ROP, yaitu sebanyak 80 unit, perusahaan harus melakukan pemesanan kembali sebanyak EOQ. Pemesanan harus dilakukan sebelum persediaan, habis karena perusahaan harus memiliki persediaan untuk memperkecil resiko kehabisan persediaan, dan dibutuhkan waktu untuk melakukan pemesanan sampai barang yang dipesan tiba di perusahaan. Dengan asumsi jangka waktu pemesanan (lead time) dan pemakaian persediaan adalah pasti, maka pesanan persediaan akan datang tepat ketika jumlah persediaan di perusahaan sudah habis atau nol. Hal yang sama akan terulang kembali setiap 30 hari. Karena dalam satu tahun perusahaan melakukan pemesanan untuk memenuhi kebutuhan persediaan sebanyak 12 kali.
3.      Model EOQ dan Kondisi yang Tidak Pasti
      Sebagaimana telah dikemukakan bahwa model EOQ hanya dapat diterapkan dalam kondisi yang bersifat pasti, namun dalam kondisi yang bersifat tidak pasti model EOQ hanya dapat diterapkan dengan didukung oleh persediaan pengamanan (safety stock). Kondisi tidak pasti yang dihadapi perusahaan terkait dengan jumlah pemakaian persediaan yang tidak tetap dalam sutu periode waktu tertentu atau ketidak pastian jangka waktu pemesanan (lead time).
Persediaan pengamanan diperlukan ketika pemakaian persediaan lebih besar dari yang direncanakan, atau jangka waktu pemesanan lebih lama dari waktu yang diperkirakan. Jika salah satu atau kedua hal tersebut terjadi pada perusahaan yang menerapkan model EOQ. Maka perusahaan akan mengalami kehabisan persediaan (stock out).
Perusahaan yang mengalami kehabisan persediaan dapat disebabkan oleh permintaan atau penggunaan persediaan yang lebih besar daripada yang direncanakan, sehingga persediaan yang ada sudah habis sementara pesanan persediaan belum tiba. Disamping itu kehabisan persediaan juga dapat terjadi karena jangka waktu pesanan persediaan yang lebih lama dari yang direncanakan atau pesanan yang datang terlambat. Karena perusahaan tidak memiliki persediaan pengaman, perusahaan akan mengalami kehabisan persediaan dan hal ini dapat mengganggu kelancaran operasi perusahaan.
Untuk mengurangi terjadinya resiko kehabisan persediaan, perusahaan perlu mengadakan persediaan pengaman. Dampaknya bagi perusahaan adalah jumlah persediaan yang harus dipertahankan menjadi lebih besar. Adanya persediaan pengaman, total biaya persediaan juga akan mengalami peningkatan.
4.      Persediaan pengamanan
Besar kecilnya jumlah persediaan pengamanan yang perlu dipertahankan oleh perusahaan tergantung pada beberapa faktor :
  1.      Permintaan persediaan. Semakin besar ketidak pastian permintaan persediaan, semakin banyak jumlah persediaan pengamanan yang harus diadakan, dengan anggapan faktor lainnya tetap. Dengan kata lain, semakin besar fluktuasi permintaan yang tidak dapat diketahui, semakin besar risiko terjadinya kehabisan persediaan. 
  2.      Lead time. Semakin tidak pasti lead time untuk penggantian atau pemesanan persediaan, semakin besar risiko kehabisan persediaan, dengan demikian semakin banyak persediaan pengamanan yang diperlukan, dengan asumsi faktor lainnya tetap.
  3.          Biaya kehabisan persediaan. Selain kedua faktor yang telah dikemukakan, besarnya biaya kehabisan persediaan juga perlu dipertimbangkan. Semakin besar biaya kehabisan persediaan, semakin banyak jumlah persediaan pengamanan yang harus dipertahankan, dengan anggapan faktor lainnya tetap. 
  4.      Biaya penyimpanan tambahan persediaan. Semakin besar biaya penyimpanan persediaan, berarti semakin mahal biaya untuk pengadaan persediaan pengamanan, dengan asumsi faktor lainnya tetap. Kebijakan pengadaan persediaan pengamanan yang optimal akan meminimalkan biaya persediaan pengamanan. Dalam menentukan jumlah persediaan pengamanan yang optimal dipertimbangkan biaya penyimpanan dan kehabisan persediaan.
5.      Manjemen Persediaan Dengan Klasifikasi ABC
Pengendalian persediaan dapat dilakukan dalam berbagai cara, antara lain dengan menggunakan analisis nilai persediaan. Dalam analisis ini, persediaan dibedakan berdasarkan nilai investasi yang terpakai dalam satu periode. Biasanya, persediaan dibedakan dalam tiga kelas, yaitu A, B, dan C berdasarkan atas nilai persediaan. Yang dimaksud dengan nilai dalam klasifikasi ABC bukan harga persediaan per unit, melainkan volume persediaan yang dibutuhkan dalam satu periode (biasanya satu tahun) dikalikan dengan harga per unit.
Kriteria masing-masing kelas dalam klasifikasi ABC, sebagai berikut :
1.   Kelas A – Persediaan yang memiliki volume tahunan rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 70% dari total persediaan, meskipun jumlahnya hanya sedikit, biasa hanya 20% dari seluruh item. Persediaan yang termasuk dalam kelas ini memerlukan perhatian yang tinggi dalam pengadaannya karena dalam kelas ini memerlukan perhatian tinggi dalam pengadaannya karena berdampak biaya yang tinggi. Pengawasan harus dilakukan secara intensif.
2.   Kelas B – Persediaan dengan nilai volume tahunan rupiah yang menengah. Kelompok ini mewakili sekitar 20% dari total nilai persediaan tahunan, dan sekitar 30% dari jumlah item. Di sini diperlukan teknik pengendalian yang moderat.
3.   Kelas C – Barang yang nilai volume tahunan rupiahnya rendah, yang mewakili sekitar 10% dari total nilai persediaan, tetapi terdiri dari sekitar 50% dari jumlah item persediaan.Di sini diperlukan teknik pengendalian yang sederhana, pengendalian hanya dilakukan sesekali saja.
Nilai persentase di atas tidak mutlak, namun tergantung dari kebijakan perusahaan. Demikian pula jumlah kelas, tidakterbatas pada tiga kelas, tetapi dapat dilakukan untuk lebih dari tiga kelas atau kurang.
Contoh 1 :
Suatu perusahaan dalam proses produksinya menggunakan 10 item bahan baku. Kebutuhan persediaan selama satu tahun dan harga bahan baku per unit seperti dalam tabel berikut :
Tabel 1. Data Item Persediaan
Item
Kebutuhan (unit/tahun)
Harga (rupiah/unit)
H – 102
H – 103
H – 104
H – 105
H – 106
H – 107
H – 108
H – 109
H – 110
800
3.000
600
800
1.000
2.400
1.800
780
780
1.000
600
100
2.200
550
1.500
250
2.500
1.500
12.200
200
Untuk membagi kesepuluh jenis persediaan tesebut dalam tiga kelas A, B, C dapat dilakukan sebagai berikut :
Tabel 2 Klasifikasi ABC dalam Persediaan
Item
Volume tahunan (unit)
Harga per unit (rupiah)
Volume tahunan (ribu rp)
Nilai kumulatif (ribu rp)
Nilai kumulatif (persen)
Kelas
1
2
3
4
5
6
7
H – 109
H – 107
H – 105
H – 103
H – 108
H – 106
H – 101
H – 104
H – 102
H - 110
780
1.800
1.000
600
780
2.400
800
800
3.000
1.000
12.200
2.500
1.500
2.200
1.500
250
600
550
100
200
9.516
4.500
1.500
1.320
1.170
600
480
440
300
200
9.516
14.016
15.516
16.836
18.006
18.606
19.086
19.526
19.826
20.026
47,5
70,0
77,5
84,1
89,9
92,9
95,3
97,5
99,0
100,0
A
A
B
B
B
C
C
C
C
C
Berdasarkan perhitungan di atas, dapat diketahui bahwa :
1.   Kelas A memiliki volume tahunan rupiah sebesar 70,0% dari total persediaan, yang terdiri dari 2 item (20%), yaitu item H-109 dan H-107.
2.   Kelas B memiliki nilai volume tahunan rupiah sebesar 19,9% dari total persediaan, yang terdiri dari item 3 (30%) persediaan.
3.   Kelas C memiliki nilai volume tahuna rupiah sebesar 10,1% dari total persediaan, yang terdiri dari 5 item (50%) persediaan.


BAB II
PENUTUP
2.1  Kesimpulan
      Ketika perusahaan menjual barang atau jasa, perusahaan dapat melakukannya secara tunai atau kredit. Jika penjualan dilakukan secara tunai maka pada saat dilakukan penjualan perusahaan juga menerima kas, sebaliknya jika penjualan dilakukan secara kredit, maka perusahaan baru menerima kas beberapa waktu kemudian setelah dilakukan penjualan, sesuai dengan jangka waktu kredit yang disepakati. Investasi dalam piutang bagi suatu perusahaan tergantung pada jumlah penjualan kredit dan rata-rata periode pengumpulan piutang (average collection period atau APC).
      Syarat penjualan mencakup tiga unsur yang berbeda yaitu : jangka waktu kredit, potongan tunai dan periode potongan, serta jenis kredit. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pemberian kredit yaitu efek kebijakan kredit, mengevaluasi usulan kebijakan kredit, biaya perubahan kebijakan kredit dan informasi kredit.
      Kebijakan piutang ini merupakan komponen dari kebijakan kredit. Hal ini mencakup pemantauan piutang dan oleh penyebaran atas piutang yang telah jatuh tempo. Tujuan manajemen persediaan adalah untuk menyediakan persediaan adalah untuk menyediakan persediaan yang diperlukan guna menjamin kelangsungan operasi perusahaan pada tingkat biaya yang minimal.
      EOQ adalah jumlah persediaan yang harus dipesan dengan biaya yang minimal. Dalam model EOQ biaya persediaan yang dipertimbangkan adalah biaya penyimpanan persediaan dan biaya penyimpanan persediaan. Model EOQ merupakan salah satu model persediaan yang hanya bisa diterapkan dalam kondisi yang pasti. Penerapan model EOQ dalam kondisi yang tidak pasti perlu didukung dengan mengadakan persediaan pengamanan.  

2.2  Saran
      Dalam mempelajari materi manajemen piutang dan  persediaan ini penyusun menyarankan selain menguasai kredit dan piutang, syarat penjualan secara kredit, analisis kebijakan pengumpulan piutang, manajemen persediaan dan model EOQ, perlu juga memperhatiakan dalam model EOQ yang bahwa di mana model EOQ ini adalah salah satu model persediaan yang hanya diterapkan dalam kondisi yang pasti apabila persediaan model EOQ dalam kondisi yang tidak pasti perlu didukung dengan mengadakan persediaan pengamanan yang dimana penentuan jumlah persediaan pengamanan ini juga  didasarkan pada pertimbangan biaya kihabisan persediaan dan biaya penyimpanan persediaan.


DAFTAR PUSTAKA

I Made Sudana. 2011.Manajemen keuangan perusahaan teori dan praktik.Erlangga,Jakarta.
https://www.mruni.eu/upload/iblock/019/VSE-15-5-1-03.pdf , acessed on Friday, April 1, 2016, 7 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar